Selasa, 06 September 2011

ADVOKASI MEDIA DAN KAMPANYE PUBLIK

Tanggal kuliah : 5 September 2011
Dosen : Drs.Irwan Julianto, MPH

Advokasi media adalah penggunaan strategik media massa untuk meningkatkan inisiatif sosial dan masyarakat. Esensi advokasi lebih dari sekedar meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang masalah kesehatan.

Masih ingat kisah Aldi Rizal Suganda, bocah dua setengah tahun yang kecanduan berat rokok? Anak balita asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, ramai diperbincangkan publik dan media, mulai tingkat lokal hingga mancanegara dan menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Dalam sehari Aldi menghabiskan tiga sampai empat bungkus rokok. Fenomena inilah yang membuat Christof Putzel, seorang jurnalis asal Amerika melakukan investigasi langsung ke lingkungan dimana Aldi tinggal dan membuat sebuah film dokumenter berjudul Sex, Lies, and Cigarettes.



Alangkah kagetnya Christof Puzel melihat legalitas terhadap rokok di Indonesia, tanpa ada undang-undang yang mengaturnya. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan peraturan di Amerika yang sangat ketat terhadap industri rokok. Tak cuma itu, ketika anak-anak berada di rumah, bahkan di kamar sekalipun, mereka juga ditawari rokok melalui iklan di televisi, radio, koran, dan majalah. Ketika ke luar rumah pun, iklan rokok terus membuntuti. Sepanjang perjalanan, berbagai billboard, spanduk, dan poster mengiming-imingi rokok dan menyajikan informasi bahwa rokok akan menjadikan mereka dewasa, jantan, hebat, enjoy, dan setia kawan. Iklan tersebut menjadi cara yang menarik bagi remaja agar menjadi perokok. Iklan tersebut menimbulkan citra positif terhadap rokok, seperti menunjukkan kenikmatan, "kemachoan", dan kekuatan.

Apalagi Cukai rokok di Indonesia memang paling murah dan ini menjadi penyebab anak-anak mudah mendapatkan akses terhadap rokok dimanapun. Harga rokok pun sangat terjangkau dengan uang senilai Rp 1.000, mereka dapat membeli 2-3 batang rokok. Penjual rokok pun ada di mana-mana, di tempat yang sama dengan anak membeli permen atau makanan ringan, seperti warung-warung sekitar rumah dan sekolah. Bahkan cuma di Indonesia saja  rokok bisa dibeli ketengan perbatang.

Komnas Perlindungan Anak memperkirakan sekitar 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap tahun. Jumlah anak merokok meningkat terus, tahun ini diperkirakan ada kenaikan hingga 38 persen dari jumlah anak yang merokok di Indonesia. Hal inilah yang memicu timbulnya perokok-perokok muda seperti Aldi di Indonesia. Lingkungan tumbuh kembangnya mengkondisikan anak dan remaja bahwa perilaku merokok sebagai hal yang lumrah dan bukan perbuatan melanggar hukum. Anak dan remaja yang sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru, sangat kondusif untuk mengikuti jejak yang sama.

Melarang serta memberi hukuman terhadap anak dan remaja perokok bukanlah pilihan yang tepat dan adil, karena mereka sebenarnya adalah korban atau yang dikorbankan oleh lingkungan tumbuh kembang mereka. Bahkan tidak tertutup kemungkinan larangan merokok pada anak akan dijadikan "alibi" oleh industri rokok bahwa, "Kami (industri rokok) tidak menjual produk kami (rokok) kepada anak-anak, karena itu melanggar peraturan." Seperti yang dikatakan oleh Head Public Affairs Philip Morris (Sampoerna Group), raksasa industri rokok di Indonesia asal Amerika.

Pro dan kontra dalam menganggapi permasalahan rokok masih tetap mengalir deras. Di satu sisi, rokok membahayakan  kesehatan penggunanya, namun di sisi lain jutaan manusia bergantung pada industri rokok tersebut. Namun diharapkan pemerintah dapat bersikap bijak dan membuat peraturan yang lebih konkret untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok. Selain itu advokasi media dan kampanye publik sangat diperlukan untuk merangkul masyarakat Indonesia agar dapat lebih mengedepankan kesehatan, dalam upaya mewujudkan masyarakat yang lebih berkompeten di mata dunia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar