Jumat, 30 September 2011

POLITIK DAN HUKUM

Tanggal Kuliah : 26 September 2011

Dosen : Bp. Tri Agung Kristanto


Politik terkait dengan bagaimana pemerintah membuat masyarakat lebih teratur dan sejahtera. Hidup masyarakat tidak terlepas dari hukum dan politik, begitu melangkahkan kaki keluar dari rumah maka akan langsung bersinggungan dengan hukum.



Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai atas keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya keadilan hukum masih sangat jauh, dapat dilihat dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap.

Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya, namun eratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Dalam kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat tinggi Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim Orde Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang hingga kini belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun memasuki setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama rakyat kecil yang tidak tahu-menahu dengan urusan politik.

Sikap korup para pejabat tinggi Negara dan elit politik telah memporak-porandakan perekonomian Negara pada khususnya. Korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah telah menghisap habis yang seharusnya menjadi hak rakyat Indonesia sebagai warga Negara. Korupsi yang terjadi bukan hanya dalam satu departemen saja. Sepertinya setiap departemen berlomba untuk korupsi. Banyak dana Negara yang hilang entah kemana dan penggunaannya tanpa tujuan yang jelas. Kebanyakan dana itu masuk ke kantong pribadi ataupun kelompok tertentu yang dengan sengaja menyelewengkan dana tersebut untuk kepentingan sendiri atau kelompok.

Akibatnya banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya. Misalnya seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi BBM yang harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia yang khususnya masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat berobat serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari. Sedikit banyaknya masyarakat miskin di Indonesia, dapat kita katakan akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan elit politik. Suatu Negara akan maju dan berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang bersih.


Opini

Pada dasarnya, semua bentuk pemerintahan di dunia sama beresikonya terhadap praktik-praktik korupsi, hanya tergantung kepada seberapa kuatnya penegakan hukum di tiap negara. Hal ini berarti semakin kuat penegakan hukum di suatu negara, maka pemberantasan korupsi di negara tersebut dapat berjalan dengan baik, atau setidaknya menekan praktik korupsi dalam lembaga pemerintahan

Jaringan mafia hukum ini sudah sangat menggurita merusak keadilan dan kepastian hukum. Ini terlihat dalam peran yang dilakukan para makelar perkara, kasus korupsi, suap-menyuap, mempengaruhi tuntutan, pengancaman, sehingga menimbulkan kerugian dan mendatangkan keuntungan yang illegal. Aparat penegak hukum dalam mengusut kasus korupsi tidak murni lagi penegakan hukum, tapi sudah ada tekanan politis dan intervensi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga tidak tertutup kemungkinan sudah masuk jaringan para mafia hukum. Mata rantai inilah yang harus segera diputus dan diungkap oleh KPK dan satgas hukum.

Politik dan Hukum Indonesia masih terkesan lemah. Banyak kasus yang tidak terselesaikan dan tetap "dibungkus". Yang salah di benarkan dan yang benar disalahkan, sering kita lihat dalam politik dan hukum kita. Kesalahan fatal dengan kesalahan ringan, akan mendapatkan hukuman yang sama. Sangat ironis, karena negara ini sudah merdeka cukup lama namun politik dan hukumnya masih sangat rapuh. Tetapi, kebebasan media saat ini serta rasa Nasionalisme masyarakat sangat baik, sehingga politik dan hukum dipaksa menjadi lebih baik.

Kamis, 22 September 2011

IKLAN & KEKERASAN SIMBOLIK


Tanggal Kuliah :  19 September 2011
Oleh :  Endah Muwarni


Apa yang terlintas di benak anda ketika melihat iklan susu WRP body shape, iklan susu L-Men pembentuk otot bagi pria dan iklan PONDS produk pemutih wajah dalam 7 hari? Iklan-iklan tersebut secara simbolik terus membangun citra wanita cantik adalah wanita yang mempunyai tubuh yang langsing dan berkulit putih, begitu pun dengan gambaran pria ideal yaitu pria yang memiliki tubuh atletis.

Hal ini mempelihatkan bagaimana iklan bisa menjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik menurut Bourdieu adalah kekerasan yang tidak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi atau pencitraan yang mempengaruhi persepsi sekelompok masyarakat. Iklan WRP, L-Men dan PONDS ternyata tidak hanya menciptakan citra tentang produk yang ditawarkan, tetapi juga menciptakan citra simbolik tentang realitas penggambaran tubuh yang digambarkan ideal dalam iklan tersebut.

IKLAN ADA DIMANA-MANA
·        Iklan ada dimana-mana, seakan mengikuti kemana saja kita pergi sepanjang hari. Di rumah, jalanan pasar, kantor, kampus, sekolah, stasiun, halte bus, bandara.
·       Iklan telah mengepung kita dari berbagai penjuru dan sepanjang waktu, sehingga memungkinkan kita untuk mampu menembus hampir semua celah kehidupan setiap orang.
·        Pengolah iklan seolah tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.

PERGESERAN FUNGSI IKLAN
·        Iklan tidak hanya sekedar bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli suatu produk. Akan tetapi lebih dari itu, iklan turut berpengaruh dalam membentuk system nilai, gaya hidup maupun selera budaya tertentu.
·       Iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari produk yang harus dijualnya, tetapi mencoba membuat berguna sesuatu dan ciri produk tersebut mempunyai arti sesuatu bagi kita.

Bukan Hanya Sekedar Mewakili Produknya Tetapi Ada Arti Tertentu Bagi Kita
·        Dalam konteks inilah iklan mendefinisikan image tentang arti tertentu yang diperoleh ketika orang menggunakan produk tersebut.
·       Proses ini oleh Williamson (1978:20) disebut sebagai Using Product is Currency, yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai uang untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli, contoh: susu bermanfaat bagi anak bayi, selain manfaatnya kita juga membeli pertumbuhan, kecerdasan dan lain-lain.
·        Pollay membagi fungsi komunikasi iklan menjadi 2:
v     Fungsi informasional, iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk.
v     Fungsi transformasional, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses dan sebagainya.

Iklan Dalam Pemikiran Ilmuwan Sosial : 

·  
        Baudrillard : iklan adalah bagian dari sebuah fenomena sosial bernama consumer society. Objek dalam iklan tidaklah berdiri sendiri melainkan dibentuk oleh sebuah system tanda (sign system).
·       Analisis Baudrillard berkontribusi dalam mengembangkan analisis mengenai produksi dan reproduksi pesan yang melibatkan peran dari citra (image) pada masyarakat kontemporer.
·        




Barthes : menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang ahli linguistik.
 Barthes : tertarik untuk membongkar makna dari pesan-pesan yang disampaikan lewat image maupun teks dalam media fenomena sosial lainnya. Makna ini dibongkar dengan terlebih dahulu menganalisa tanda-tanda yang merepresentasikan makna, dengan menggunakan semiotic sebagai kerangka analisa, Barthes menyumbangkan pemikiran mengenai peran media dalam reproduksi pesan-pesan ideologis.

Bagaimana para ilmuwan memahami iklan?
·        Baudrillard : iklan dibentuk dari sign system yang mengatur makna dari objek / komoditas. Iklan juga dipandang sebagai perangkat ideologis dari kapitalisme konsumen (consumer capitalism).
·        Barthes : iklan juga dilihat sebagai signs yang mengatur makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan. Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat senetral mungkin, proses signifikasi (pembuatan tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai myth (mitosnya seperti apa, contoh maskulin seperti apa? Putih seperti apa).

Bagaimana iklan memproduksi pesan?
·        Baudrillard : iklan sebagai wacana yang dikodekan (coded discourse) dan melekat pada sebuah produk tidak memiliki hubungan dengan realitas (hyperreal).
·        Barthes : menganggap bahwa tanda masih bisa merepresentasikan system realitas (signifikasi tingkat I / denotasi). Sedangkan pada signifikasi tingkat kedua (konotasi), tanda bisa merepresentasikan sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat situasi cultural/sosial yang sama.
·        Sementara sebagai sebuah myth, signs dalam iklan dianggap merepresentasikan pesan ideologis dari si pembuat iklan (dalam konteks ini adalah kaum borjuis).

Bagaimana pesan diterima khalayak?
·        Baudrillard menegaskan bahwa melalui kode-kode dalam sebuah pesan manusia sadar akan dirinya dan kebutuhan-kebutuhannya. Kode tersebut secara hirarkis memiliki tingkatan yang digunakan untuk menandakan perbedaan-perbedaan (distinction) dari status dan kelas
·        Contoh : mobil espas, dapat kita jadikan lelucon dari eksekutif pas-pasan, namun sekarang sudah tidak lagi banyak yang menggunakan espas melainkan lebih memilih Avanza, bahkan BMW untuk menunjukkan status sosial lebih tinggi.
·        Barthes berpendapat bahwa iklan memiliki berbagai makna sesuai dengan tingkat signifikasi yang dilakukan oleh khalayak. Dengan demikian makna dari pesan yang disampaikan oleh iklan menjadi sangat majemuk.

Memahami iklan dengan konsep kekerasan simbolik Bourdieu
·        Bagi Bourdieu, seluruh tingkatan pedagogis (tindakan) baik itu yang diselenggarakan di rumah, sekolah, media atau dimanapun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan system nilai atas pelaku lainnya, sebuah kekasaan yang berakar pada relasi kuasa antara kelas-kelas dan atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
·        Contoh: tanpa sadar kita menerima apa yang dikatakan oleh orang tua, guru, teman dan bahkan media (iklan).
·        Diasumsikan bahwa media dan iklan merupakan sarana yang digunakan untuk melakukan tindakan pedagogis dari kelas/kelompok sosial tertentu.
·        Arena iklan tidak hanya menjadi ajang konsentrasi image simbolik produk yang ingin dipasarkan namun juga image simbolik realitas sosial secara luas.
·        Iklan menjadi sebuah mesin kekerasan simbolik yang bisa menciptakan system kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu sesuai kepentingan kelas/kelompok dominan.
·        Image-image simbolik yang diproduksi iklan seperti misalnya kebohongan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern pada dasarnya merupakan system nilai yang dimiliki kelas satu atau kelompok dominan yang diedukasi dan ditanamkan pada suatu kelompok masyarakat tertentu.
·        Proses penanaman nilai melalui iklan dapat membentuk habitus tentang system nilai tersebut. Sehingga iklan tidak hanya menciptakan subjek yang dapat meregulasi diri terkait konsumsi produk namun juga subjek yang dapat merugalasi diri terkait klasifikasi dunia social, disini kemudian terjadilah kekerasan simbolik.
·        Image-image yang diproduksi iklan adalah tindakan pedagogis yang dapat memaksakan secara halus nilai-nilai, standar-standar dan selera kebudayaan kepada masyarakat atau sekurang-kurangnya memantapkan preferensi kebudayaan mereka sebagai standar dari apa yang dianggap tertinggi, terbaik dan paling abash. Dominasi kelas terjadi tatkala pengetahuan, gaya hidup selera, penilain, estetika dan tata cara social dari kelas yang dominan menjadi absah dan dominan secara social.


Iklan WRP, PONDS dan L-Men memberikan realitas bentuk tubuh laki-laki dan perempuan yang ideal, yakni langsing dan atletis sebagaimana didefinisikan dalam iklan tersebut, yang akhirnya dianggap sebagai suatu kelumrahan. Hal ini, karena cara pandang (mindset) khalayak tentang bentuk tubuh laki-laki dan perempuan yang ideal, ternyata sesuai dengan apa yang digambarkan dalam iklan WRP dan L-Men. Iklan berusaha mengunggulkan produk mereka dengan menetapkan sendiri batasan atau standar  melalui iklan.

Mereka mencoba menetapkan standar kecantikan bahwa wanita cantik adalah wanita yang memiliki wajah putih, merona, berkulit putih, berambut lurus. Seorang pria yang jantan harus memiliki tubuh atletis. Namun sebenarnya kejantanan maupun kecantikan tidak ditentukan dari hal-hal tersebut. Namun karena begitu besar dan kuatnya terpaan iklan di masyarakat melalui segala media, membuat masyarakat mengikuti persepsi tersebut dan menjadi “korban iklan”. Maka dari itu, sebagai masyarakat yang cerdas, hendaknya kita dapat lebih kritis dan bijak dalam menyaring segala informasi yang diterima. 

Rabu, 14 September 2011

JURNALISME WARGA

Tanggal kuliah : 12 September 2011
Dosen :  Agus (Ketua Dewan Pers)


APA ITU JURNALISME WARGA?

Jurnalisme Warga, atau Citizen Journalism, merupakan aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh warga/masyarakat awam, oleh masyarakat yang tidak memiliki latar belakang keahlian atau pekerjaan di dunia jurnalistik. Aktivitas-aktivitas jurnalistik yang dilakukan adalah aktivitas-aktivitas yang serupa dalam kegiatan jurnalistik, seperti mengumpulkan, reportase, menganalisa, dan mempublikasikan berita maupun informasi. Berita-berita maupun informasi pada citizen journalism ini cenderung tidak disensor, sehingga kebebasan jurnalis sangat dijunjung tinggi. Berita dan informasi ini ditulis berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan, dan disaksikan oleh penulisnya sendiri tanpa rekayasa. Seperti kita ketahui kegiatan jurnalistik umumnya dilakukan oleh para pekerja jurnalistik yang berada dibawah atap nama perusahaan media. Seiring dengan reformasi pada bidang media maka bermunculan para penulis ataupun penggiat jurnalistik yang tidak bekerja untuk kepentingan bisnis media, dan umumnya dilakukan oleh masyarakat awam atau warga biasa. Inilah yang dimaksud dengan Jurnalisme Warga, atau dalam bahasa Inggris disebut Citizen Journalism.

Didukung oleh kemudahan akses dan perkembangan teknologi di Indonesia, hal itu memberikan stimulus pada masyarakat biasa untuk bisa bersuara dan berbagi informasi secara lebih cepat lewat melalui jurnalisme model ini. Berkembangnya jurnalisme warga membuat masyarakat mempunyai banyak alternatif berita dan perspektif tentang sebuah hal dari berbagai pihak. Namun begitu, kegiatan jurnalistik oleh warga ini ada baiknya menerapkan kode etik jurnalistik, yang mana telah menjadi acuan setiap kegiatan jurnalistik. Masyarakat pembaca pun bisa lebih terbebas dari disinformasi. 
  •  Jurnalisme yang menempatkan warga sebagai subyek
  • Warga secara aktif-partisipatoris terlibat dalam proses pencarian, pengolahan dan penyajian informasi
  • Setiap orang dapat menjadi informan sekaligus jurnalis
  • Warga tidak hanya menjadi penonton, namun menjadi peserta aktif dalam diskusi dan problem solving di ruang publik media.

MENGAPA HARUS JURNALISME WARGA?


  • Prinsip partisipatori dan emansipasi publik
  • Ruang media sebagai ruang publik deliberatif
  • Keterbatasan media menangkap berbagai realitas yang majemuk/penting/signifikans/khas/individual/lokal
  • Semakin banyak pilihan medium komunikasi dan interaksi bagi setiap orang
  • Teknologi informasi dan komunikasi bukan masalah
  • Masyarakat semakin familier dengan teknologi pendukung pencarian/perekaman/pengolahan/penyebaran informasi
  • Keterbatasan akses warga ke media
  • Ruang media sebagai ruang publik yang elitis
  • Pemilihan narasumber yang elitis
  • Pemilihan isu yang elitis
  • Masyarakat hanya sebagai penonton pasif, bukan pelaku peristiwa


AUTISME MEDIA
  • Media yang asyik dengan dirinya sendiri.
  • Menentukan skala prioritas pemberitaan pertama-tama berdasarkan agenda, nilai, orientasi dan keyakinannya sendiri, bukan berdasarkan minat, kepentingan dan kebutuhan pembaca
  • Media yang tidak benar-benar menyadari pelibatan publik dalam penentuan agenda setting media sebagai konsekuensi status ruang publik.

MEDIUM JURNALISME WARGA

  • Radio/Televisi melakukan interaksi interaktif dengan audience
  • Audience mengirimkan rekaman video / audio kepada media televisi/radio
  • Online media memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk memberikan komentar dan berinteraksi satu sama lain.
  • Blog, Twitter sebagai forum komunikasi, pertukaran informasi, dialog bahkan penyajian berita.

NILAI BERITA
  • Aktualitas
  • Akurasi
  • Keberimbangan
  • Relevansi
  • Signifikansi
  • Prominensi
  • Magnitude
  • Proksimitas
  • Kompetensi Sumber

KODE ETIK JURNALISTIK
  • Tidak Berprasangka
  • Mengandung Konfirmasi
  • Tidak Sarkastis, Sadistis, Pornografis
  • Menggunakan bahasa yang benar
  • Berdasarkan Fakta
  • Tidak beropini
  • Akurasi data, fakta, ilustrasi

DILEMA JURNALISME WARGA
  • Kecepatan vs Kelengkapan / Kedalaman
  • Partisipatory vs Esensi / Kualitas Jurnalistik
  • Ruang Privat vs Ruang Publik

KASUS-KASUS JURNALISME WARGA
  • Mayoritas adalah pemberitaan satu sisi, tidak berimbang, tidak ada konfirmasi dan cenderung menghakimi obyek berita.
  • Media online menggunakan prinsip follow up news, bahwa konfirmasi narasumber dapat ditunda pada berita selanjutnya.
  • Pelaku jurnalisme warga belum menguasai nilai-nilai berita, etika jurnalistik, prinsip ruang publik media
  • Pelaku jurnalisme warga bukan jurnalis atau tidak paham bagaimana jurnalis bekerja

APA YANG PERLU DILAKUKAN?
Pelaku jurnalisme warga harus memahami :
  • Media adalah ruang publik sosial dengan nilai-nilai baku (nilai berita dan kode etik jurnalistik)
  • Profesi jurnalis bukan profesi sembarangan yang dapat dilakukan secara serampangan.
  • Berita berbeda dengan informasi satu sisi, gosip, atau syakwasangka

JURNALISME WARGA PENTING DAN MENDESAK UNTUK DIPRAKTEKKAN NAMUN MUTLAK HARUS MEMENUHI ETIKA DAN KEHATI-HATIAN


PERLU DIBEDAKAN:


  • Jurnalisme online media : Memenuhi kode etik jurnalistik dalam penyampaian informasi
  • Ruang publik online : Lebih bersifat informal dan terbuka, sehingga publik bisa secara gamblang menyampaikan informasi secara langsung
  • Media Online : detik.com, vivanews, kompas.com, firstmedia dll
  • Ruang diskusi Online : twitter, blog, mailing list, dll

Selasa, 06 September 2011

ADVOKASI MEDIA DAN KAMPANYE PUBLIK

Tanggal kuliah : 5 September 2011
Dosen : Drs.Irwan Julianto, MPH

Advokasi media adalah penggunaan strategik media massa untuk meningkatkan inisiatif sosial dan masyarakat. Esensi advokasi lebih dari sekedar meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang masalah kesehatan.

Masih ingat kisah Aldi Rizal Suganda, bocah dua setengah tahun yang kecanduan berat rokok? Anak balita asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, ramai diperbincangkan publik dan media, mulai tingkat lokal hingga mancanegara dan menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Dalam sehari Aldi menghabiskan tiga sampai empat bungkus rokok. Fenomena inilah yang membuat Christof Putzel, seorang jurnalis asal Amerika melakukan investigasi langsung ke lingkungan dimana Aldi tinggal dan membuat sebuah film dokumenter berjudul Sex, Lies, and Cigarettes.



Alangkah kagetnya Christof Puzel melihat legalitas terhadap rokok di Indonesia, tanpa ada undang-undang yang mengaturnya. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan peraturan di Amerika yang sangat ketat terhadap industri rokok. Tak cuma itu, ketika anak-anak berada di rumah, bahkan di kamar sekalipun, mereka juga ditawari rokok melalui iklan di televisi, radio, koran, dan majalah. Ketika ke luar rumah pun, iklan rokok terus membuntuti. Sepanjang perjalanan, berbagai billboard, spanduk, dan poster mengiming-imingi rokok dan menyajikan informasi bahwa rokok akan menjadikan mereka dewasa, jantan, hebat, enjoy, dan setia kawan. Iklan tersebut menjadi cara yang menarik bagi remaja agar menjadi perokok. Iklan tersebut menimbulkan citra positif terhadap rokok, seperti menunjukkan kenikmatan, "kemachoan", dan kekuatan.

Apalagi Cukai rokok di Indonesia memang paling murah dan ini menjadi penyebab anak-anak mudah mendapatkan akses terhadap rokok dimanapun. Harga rokok pun sangat terjangkau dengan uang senilai Rp 1.000, mereka dapat membeli 2-3 batang rokok. Penjual rokok pun ada di mana-mana, di tempat yang sama dengan anak membeli permen atau makanan ringan, seperti warung-warung sekitar rumah dan sekolah. Bahkan cuma di Indonesia saja  rokok bisa dibeli ketengan perbatang.

Komnas Perlindungan Anak memperkirakan sekitar 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap tahun. Jumlah anak merokok meningkat terus, tahun ini diperkirakan ada kenaikan hingga 38 persen dari jumlah anak yang merokok di Indonesia. Hal inilah yang memicu timbulnya perokok-perokok muda seperti Aldi di Indonesia. Lingkungan tumbuh kembangnya mengkondisikan anak dan remaja bahwa perilaku merokok sebagai hal yang lumrah dan bukan perbuatan melanggar hukum. Anak dan remaja yang sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru, sangat kondusif untuk mengikuti jejak yang sama.

Melarang serta memberi hukuman terhadap anak dan remaja perokok bukanlah pilihan yang tepat dan adil, karena mereka sebenarnya adalah korban atau yang dikorbankan oleh lingkungan tumbuh kembang mereka. Bahkan tidak tertutup kemungkinan larangan merokok pada anak akan dijadikan "alibi" oleh industri rokok bahwa, "Kami (industri rokok) tidak menjual produk kami (rokok) kepada anak-anak, karena itu melanggar peraturan." Seperti yang dikatakan oleh Head Public Affairs Philip Morris (Sampoerna Group), raksasa industri rokok di Indonesia asal Amerika.

Pro dan kontra dalam menganggapi permasalahan rokok masih tetap mengalir deras. Di satu sisi, rokok membahayakan  kesehatan penggunanya, namun di sisi lain jutaan manusia bergantung pada industri rokok tersebut. Namun diharapkan pemerintah dapat bersikap bijak dan membuat peraturan yang lebih konkret untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok. Selain itu advokasi media dan kampanye publik sangat diperlukan untuk merangkul masyarakat Indonesia agar dapat lebih mengedepankan kesehatan, dalam upaya mewujudkan masyarakat yang lebih berkompeten di mata dunia.